Selasa, 26 November 2013

Rekayasa Hujan Masih Menunggu Perhitungan

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belum bisa memastikan waktu pelaksanaan hujan buatan meski akhir-akhir ini curah hujan kian meningkat.

"Rekayasa hujan masih menunggu perhitungan, apakah kondisi kita sudah dianggap darurat atau belum, dan ini perlu kirim surat, masalahnya sekarang ini yang darurat itu di Bogor yang hujan gedenya tapi kita meski samakan persepsi dulu, darurat hujan di Bogor jatuhnya ke kita," kata Ahok di Balaikota, Selasa.

Ahok menegaskan pelaksanaan rekayasa hujan memerlukan koordinasi dua wilayah: DKI Jakarta dan Jawa Barat.

"Nah ini mesti jelas apa kita yang nulis surat, cuaca ekstrem itukan bukan di sini, ekstremnya di Bogor, tapi airnya itu jatuh ke kita, nah ini juga perlu samakan persepsi apakah Gubernur Jabar yang bikin surat atau kita," kata Ahok.

Sementara itu Kepala UPT Hujan Buatan BPPT Heru Widodo mengatakan BPPT sudah menyiapkan peralatan untuk tekayasa hujan pada 1 Desember mendatang. "Sampai saat ini tinggal menunggu persetujuan ijin penggunaan pesawat Hercules dari TNI," kata Heru.
Continue Reading...

Selasa, 08 Oktober 2013

Mendukung kerjasama Pemberantasan korupsi

Para pemimpin dan utusan khusus anggota Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) tidak saja menyepakati peningkatan liberalisasi perdagangan dan investasi, namun juga berkomitmen mendukung kerjasama pemberantasan korupsi. Masalah ini dipandang telah menggerogoti pertumbuhan ekonomi global.

Demikian salah satu isi Deklarasi Bali, yang dihasilkan para pemimpin dan utusan dari 21 anggota APEC selama Pekan KTT 1-8 Oktober 2013 di Nusa Dua, Bali. Pertemuan ini juga melibatkan lebih dari 1.000 pebisnis dan tokoh pemikir dunia melalui forum APEC CEO Summit dan Dewan Penasihat Bisnis APEC.

Bernama "Deklarasi Bali," APEC mendukung berbagai upaya mendukung perdagangan bebas sekaligus menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan. Salah satu masalah yang akan diberantas bersama adalah korupsi.

Dalam deklarasi itu, para pemimpin APEC sepakat meningkatkan kolaborasi di kalangan aparat penegak hukum dalam memerangi korupsi, suap, pencucian uang, dan perdagangan gelap. Kolaborasi ini bisa diwujudkan melalui pembentukan Jaringan Kerja di Lembaga-Lembaga Penegak Hukum dan Otoritas Anti Korupsi di kawasan APEC (ACT-NET).

"Ini akan memperkuat kerjasama informal dan formal di tingkat regional dan lintas perbatasan," demikian bunyi Deklarasi Bali itu.

Korupsi sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi ini juga menjadi perhatian pemimpin APEC saat berdialog dengan para pemuka bisnis. Bahkan, dalam suatu sesi di APEC CEO Summit Minggu kemarin, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi penyakit kanker yang menyakitkan dan tidak bisa diberantas dengan mudah. Kanker korupsi ini menjadi salah satu tantangan yang harus diatasi bersama oleh para pemimpin negara dan eksekutif anggota APEC.

Menanggapi seorang eksekutif yang menjadi penanya, PM Lee menyatakan bahwa memberantas korupsi ini memang tidak mudah. "Korupsi itu seperti kanker dalam suatu tubuh. Tidak hanya bisa diberantas satu-satu. Bila hanya diangkat satu saja, maka akan tumbuh lagi. Ini harus dicabut sekaligus," kata Lee dalam sesi yang juga diikuti oleh Dennis Nally (Chairman PricewaterhouseCoopers International Ltd) dan Frank Gaoning Ning  (Chairman, COFCO Corporation).
Continue Reading...

Kamis, 26 September 2013

Operator PT XL Axiata Tbk

Operator PT XL Axiata Tbk meyakini komersialisasi layanan seluler generasi ke empat (4G) yang mengusung teknologi Long Term Evolution (LTE) masih menunggu kesiapan ekosistem industri. "Saya rasa (komersial 4G XL) tidak tahun ini, dari sisi regulasi belum siap, kami juga menunggu hasil merger dengan Axis," kata Presiden Direktur XL Axiata Tbk, Hasnul Suhaimi, di sela uji coba layanan 4G, di Jakarta, Senin.

Dalam uji coba tersebut, Hasnul didampingi Country Manager Huawei Sheng Kai, dan Direktur Service Management XL Ongki Kurniawan melakukan komunikasi berupa "video conference" melalui layanan LTE dengan Vice President XL Axiata East Region, Titus Dondi, yang saat itu berada di kawasan Nusa Dua, Bali. Menurut Hasnul, uji coba yang digelar selama penyelenggaraan KTT APEC 1-8 September 2013 itu memberikan gambaran bahwa dari sisi infrastruktur XL sudah siap memberikan layanan 4G.

Namun tambahnya, komersialisasi layanan 4G sangat tergantung pada seberapa kesiapan seluruh pemangku kepentingan pada industri ini, mulai dari regulator, operator, penyedia jaringan, hingga kesiapan handphone, termasuk dari aspek bisnis. Khusus XL diutarakan Hasnul, komersialisasi 4G menunggu hasil konsolidasi dengan Axis Telekom Indonesia yang saat ini masih dalam tahap penjajakan.

Diketahui, saat ini XL sedang menunggu rekomendasi teknis konsolidasi XL dengan Axis dari Kementerian Kominfo. Rekomendasi teknis tersebut sebagai acuan untuk menindaklanjuti rencana konsolidasi tersebut memasuki tahap Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA) antara XL dengan Axis.

Menurut rumor, rencana konsolidasi tersebut menggantung karena masih alotnya diskusi Tim Kelompok Kerja (Pokja) bentukan Kemenkominfo dan BRT dalam membuat rekomendasi teknis XL dan Axis yang diperkirakan baru rampung pada akhir September 2013. Hasnul mengakui, bahwa dalam kondisi seperti ini tidak mudah melakukan akuisisi.

"Soal agreement CSPA ini kita nunggu dari pemerintah. Harganya juga belum deal, karena kita tanggung utang dan biayanya (Axis)," ujarnya. Selain itu CSPA juga tergantung dari berapa frekuensi yang kita dapat.

"Kalau pemerintah sudah tentukan, baru kita bisa jalan. Harapannya dalam waktu dekat sudah deal," ujar Hasnul. Ia beralasan, XL menunggu merger dengan Axis tak lain karena operator ini ingin memanfaatkan spektrum gabungan keduanya di 1.800 MHz. Pada spektrum itu XL hanya memiliki lebar pita 7,5 MHz. Sementara Axis punya 15 MHz.

"Frekuensi yang terbaik untuk LTE kalau bisa di 1.800 MHz. Kami akan refarming karena 2G pelan-pelan akan turun, jaringannya bisa dibangun untuk 4G. Tinggal ganti modul dan softwarenya. Di 1.800 MHz kami cuma punya 7,5 MHz saja, makanya kami ingin ada akuisisi itu," ujar Hasnul.

Hasnul juga menilai, 1.800 MHz frekuensi yang tepat untuk menggelar LTE karena ekosistemnya sudah terbentuk di spektrum tersebut. "Dari sisi handset, di 1.800 MHz sudah banyak diproduksi. LTE ini tidak ada artinya kalau tidak ada komunitas dan ekosistem bisnisnya," ujarnya.
Continue Reading...